Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan YME karena dengan seijinnya lah, kami h4iteam dapaat memeriahkan blog ini.

Sabtu, 18 September 2010

Kendala dan Problem Pengentasan Anak Jalanan

Belakangan ini, penanganan anak-anak jalanan menjadi sorotan masyarakat yang
amat tajam, yaitu berkaitan dengan masih maraknya anak-anak jalanan di
kota-kota besar. Persoalan itu menjadi sangat serius mengingat bahwa problem
anak
jalanan merupakan problem kota yang mesti ditangani sepadan dengan
masalah-masalah sosial lain, seperti gelandangan, pengungsi, dan pengangguran.
Untuk
mengenali anak-anak jalanan, ditemukan beberapa hal berkaitan dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa anak-anak turun ke jalan?

Pertama, kemiskinan. Alasan itu memang terasa klasik dan menjadi kambing
hitam semua persoalan sosial mulai dari ciblek, WTS, penjahat, gelandangan.
Namun, kemiskinanlah yang mendorong orang untuk urun ke jalan. Biasanya, hal itu
berawal dari orangtua yang kurang mempedulikan pendidikan anaknya karena
mereka sibuk mencari nafkah, suasana yang kurang harmonis dalam keluarga.
Orangtua yang tidak mengerti bagaimana mendidik anak secara benar dan bermutu
sangat
potensial anak-anaknya menjadi lepas kendali dan tidak mampu merengkuh
nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagaimana layaknya anak-anak yang lain.


Kedua, ling- kungan. Tempat anak tinggal akan sangat mempengaruhi pola
pergaulan anak-anak. Dari situasi lingkungan itu pula, kita akan segera tahu
latar
belakang awal mengapa anak-anak turun ke jalanan. Situasi lingkungan yang
keras, kumuh, banyak stres sangat memungkinkan anak-anak menjadi tidak betah
tinggal di rumah dan melarikan diri ke jalanan.

Jalanan mereka yakini sebagai konformitas sosial baru yang mampu memberikan
ruang kebebasan (baca = semua kebebasan) sehingga di sana diperoleh sahabat,
teman, serta membentuk mentalitas baru.

Ketiga, figur orangtua bukan figur teladan. Dari pengalaman-pengalaman
perjumpaan dengan anak jalanan, semakin kentara bahwa keluarga yang orangtuanya
broken home, masing-masing mempunyai WIL dan PIL sangat potensial anak-anaknya
turun ke jalanan. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orangtua
menjadi stressor yang sama sekali tidak mendidik anak-anak, bahkan anak menjadi
kehilangan figur idola.

Bisa jadi, mereka tidak miskin secara ekonomis, bahkan banyak juga anak-anak
jalanan yang dalam kelompok itu sosial ekonominya cukup mapan. Mengapa
mereka ke jalan?

Keempat, benturan antara nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global. Era
globalisasi yang sudah mulai kita rasakan membawa nilai baru ke dalam kehidupan
masyarakat kita berupa kebebasan, pergeseran nilai-nilai moral, dan semakin
kompleksnya tantangan kehidupan.

Kelima, klasifikasi anak jalanan sendiri. Kadang kala masyarakat hanya
melihatnya bahwa semua yang berada di jalanan itu pasti dalam kelas yang sama.
Mereka terdiri dari pengasong, penjual koran, pengamen, pemulung, pengemis,
pengelap kaca mobil. Keberadaan mereka di jalanan memang kadang merepotkan para
pengemudi terutama di perempatan-perempatan.

Meski mereka tidak akan mengganggu atau berbuat jahat, tetapi ''stigma''
yang melekat pada mereka membuat masyarakat pasang kuda-kuda. Daripada repot,
lebih baik selalu menyiapkan uang recehan, takut mobil digores, takut
dimaki-maki. Memang kadang juga ada yang memaksa dengan nada marah, meski kita
sudah
menjelaskan kalau kita memang tidak mempunyai uang. Tetapi, ada juga yang
dengan santun minggir, ketika kita mengatakan tidak punya recehan untuk
keperluan
tersebut.

Dua buku berjudul Eksploitasi Seksual terhadap Anak Berbagi Pengalaman
Penanganannya (1) dan Anak Jalanan Perempuan (2) ini berupaya memaparkan problem
dan solusi penanganan anak-anak jalanan. Persoalan anak jalanan merupakan
problem yang pelik untuk Kota Semarang. Sekalipun sudah banyak LSM yang
memberikan pendampingan namun toh kenyataannya dari ke hari jumlah mereka yang
turun
ke jalanan tidak semakin berkurang; malahan bertambah dan semakin variatif.

Pengamat masalah sosial banyak mengatakan, apa yang dikerjakan LSM-LSM dalam
hal itu belum optimal, atau kurang profesional. Mungkin saja demikian.
Tetapi, persoalannya kembali lagi bahwa berapa pun besarnya dana yang dikucurkan
untuk program itu sangat tergantung dari hal-hal berikut.

(1) Keseriusan anak-anak jalanan sendiri untuk kembali ke masyarakat dan
tidak lagi mencari kehidupan di jalanan.

(2) Kehidupan jalanan yang cenderung membentuk mentalitas tertentu. Dengan
terjun ke jalanan, mentalitas berubah, life style berubah, cara pandang
berubah, demikian pula dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan selayaknya
kehidupan
masyarakat pada umumnya.

(3) Ketika LSM yang juga mendampingi dan memberdayakan anak-anak jalanan
dikunjungi oleh pejabat yang jarang ke jalanan, mereka mengatakan ada baiknya
mereka diberikan pelajaran budi pekerti, agama, dan masukan-masukan tentang
moralitas beragama. Muara dari hal itu sebenarnya dipandang dari orangtua anak
jalanan harus terlibat dalam penanganan anak mereka sendiri sebagai bentuk
tanggung jawab mereka sebagai orangtua.

(4) ada orangtua yang mempekerjakan anak yang masih kecil di jalanan sebagai
pengamen, pengemis, pemulung, dan sebagainya.

(5) Kesungguhan dan keseriusan semua pihak terkait untuk memikirkan dan
menangani secara profesional. Apa yang salah dengan hal itu, sudah banyak
lokakarya diadakan, rapat-rapat yang begitu banyak, diskusi-diskusi dengan
makalah-makalah yang menggunung, tetapi masalahnya masih seperti gunung es di
tengah
lautan.

Petugas lapangan kerap kali menemukan beberapa kendala berikut dalam
pemberdayaan anak-anak jalanan. Pertama, dalam kaitan dengan keberadaan dana
Jaring
Pengaman Sosial (JPS) yang lagi marak. Dari asal mulanya saja, program JPS
sudah menimbulkan banyak masalah. Selain tidak terkoordinasi secara benar,
jalur yang terlalui sejak semula juga masih sisa-sisa rezim Orde Baru yang tentu
masih berlepotan dengan korupsi, kolusi, dan manipulasi.

Kedua, sama halnya dengan dana-dana Inpres Desa Tertinggal yang kemudian
menjadi rayahan tidak sampai ke sasaran, dana JPS-pun tidak luput dari keinginan
sebagian orang untuk mencari keuntungan pribadi.

Ketiga, begitu banyak LSM baru bermunculan untuk ikut terlibat dan mengelola
dana JPS. Kenyataan di lapangan, banyak orang dalam lembaga-lembaga
pemerintah yang terlibat dalam penyelenggaraan LSM pemberdaya anak-anak jalanan.

Keempat, minimnya sumber daya profesional dalam LSM-LSM itu untuk mengelola
dana secara benar. Harus diakui dengan jujur, salah satu kelemahan dari JPS
adalah lemahnya kontrol dan pengawasan, dan tidak ada pelatihan dan pembekalan
secara memadai dalam bidang keuangan atau administrasi untuk pelaksana di
lapangan.

Mungkin sisi itu yang cukup mengherankan, apalagi sering terdengar rumor
kalau ada pejabat datang ke LSM, pulangnya diberikan amplop sekadar untuk
oleh-oleh istri, anak, dan sebagainya.

Kelima, ketidaktulusan aktivis-aktivis pemerhati dan pelaksana pemberdayaan
anak-anak jalanan dalam melaksanakan tugas mereka. Hal itu akan berimbas pada
keseriusan, tampak dalam empatinya yang mendalam kepada penderitaan sesama
yang memerlukan pertolongan mesti dia adalah anak-anak jalanan.

Mungkin masalahnya tidak akan menjadi ruwet kalau sejak semula dalam semua
orang yang terlibat pemberdayaan tertanam semangat bahwa yang diberdayakan itu
anak-anak jalanan yang notabene mereka itu orang kecil, lemah, dan
tersingkir. Tanpa opsi yang tegas semacam itu, rasa-rasanya merupakan suatu
kemustahilan kalau pembelaan kepada mereka yang lemah bisa dikerjakan. Orang
mesti juga
mempunyai pendirian, ada atau tidak ada dana, pembelaan kepada mereka yang
lemah terus dikerjakan. Kedua buku ini menjadi referensi yang sangat penting
untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar