Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan YME karena dengan seijinnya lah, kami h4iteam dapaat memeriahkan blog ini.

Sabtu, 09 Juli 2011

PROFESI DATA BASE

DBAs adalah salah satu profesi dibidang IT. Seorang Database Administrator adalah seorang yang bertanggung jawab terhadap performance, integritas, dan keamanan dari database. Skill tambahan yang diperlukan untuk seorang Database Administrator adalah perencanaan, pembangunan (development), troubleshooting. Profesi ini juga dikenal sebagai koordinator Database atau Database Programmer. Ada beberapa tingkatan yang di kenal dalam Database administrator :
  • Database Analysts/Query Designers
  • Junior  DBAs
  • Midlevel DBAs
  • DBA Consultant
Peran Database Adminitrator meningkat berdasarkan database dan proses yan dikelola dan kemampuan dari database management system (DBMS). Skill yang harus dimiliki seorang DBA :
  • Backup Recovery
  • Database Security
  • Availibilty Management
  • Database Performance Tuning
  • Integrity of Data
  • Developer Assistant
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang DBA harus memiliki kemampuan sebagai berikut :
  • Memiliki pengetahuan mengenai database yang digunakan, termasuk juga tools dan utilities-nya.
  • Memiliki pemahaman mengenai design database
  • Memiliki kemampuan tuning dan monitoring terhadap database
  • Memilki kemampuan backup dan recovery
  • Memiliki pengetahuan mengenai security management
  • Kemampuan dasar seorang IT-Pro harus dimilki
Standar Gaji diambil dari Indonesia Salary Handbook 2008/2009 buat seorang Database Adminstrator adalah di kisaran Rp.4.000.00 sampai Rp.7.000.000

Kamis, 09 Juni 2011

Etika Profesi Seorang lulusan Sistem Komputer Sebagai Guru


Saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia, kemajuannya luar biasa terutama dalam bidang komputer baik desainernya maupun softwernya. Hampir setiap bulan para desainer, pabrikan, ahli dalam bidang teknologi komputer terus menerus mengadakan penelitian dan pengembangan teknologi. Bangsa Indonesia yang semakin besar tidak luput dari kemajuan teknologi informasi ini, walapun pada umumnya berada pada tataran konsumen/pemakain yang kalah jauh dari negara tetangga yang sudah masuk pada tataran desainer teknologi dan produsen komponen-komponen informasi teknologi informasi terutama bidang komputer. Sehingga barang elektronik harganya terjangkau oleh masyarakat. Untuk menyikapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat tersebut, diperlukan adanya sumber daya yang handal agar negara kita tidak hanya menjadi pemakai teknologi, namun bisa berkembang menjadi "pencipta:" teknologi itu sendiri. Saat ini para siswa di sekolah khususnya setingkat SMP/MTs atau yang sederajat, sudah mulai diberi sebuah mata pelajaran yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga diharapkan para siswa setidaknya sudah tidak asing dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu diperlukan adanya sistem pembelajaran yang baik agar para siswa bisa lebih mudah memahami pembelajaran tentang teknologi informasi dan komunikasi.
Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan TIK secara optimal dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi maupun masyarakat. Siswa yang telah mengikuti dan memahami serta mempraktekkan TIK akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai TIK dan menggunakannya secara efektif. Selain dampak positif, siswa mampu memahami dampak negatif, dan keterbatasan TIK, serta mampu memanfaatkan TIK untuk mendukung proses pembelajaran dan memanfatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan semakin banyaknya situs pertemanan seperti facebook, twitter, friendster, dan myspace membuat komunikasi dan saling bertukar informasi semakin mudah. Belum lagi semakin menjamurnya tempat membuat blog gratis di internet seperti wordpress, blogspot, livejurnal, dan multiply. Membuat kita dituntut bukan hanya mampu mencari dan memanfaatkan informasi saja, tetapi juga mampu menciptakan informasi di internet melalui blog yang kita kelola dan terupdate dengan baik. Di sanalah muncul kreativitas menulis yang membuat orang lain mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Namun sayangnya, kebiasaan menulis dan membaca belum menjadi budaya masyarakat Indonesia, termasuk guru dan siswa di sekolah. Para guru TIK dituntut agar para peserta didiknya mampu memanfaatkan TIK untuk mengembangkan kreativitas menulis.
Pendidikan sebagai pondasi pembangunan suatu bangsa memerlukan pembahuruan-pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman. Keberhasilan dalam pendidikan selalu berhubungan erat dengan kemajuan suatu bangsa yang berdampak meningkatnya kesejahteraan kehidupan masyarakat. Pada era teknologi tinggi (high technology) perkembangan dan transformasi ilmu berjalan begitu cepat. Akibatnya, sistem pendidikan konvensional tidak akan mampu lagi mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Pendekatan-pendekatan modern dalam proses pengajaran tidak akan banyak membantu untuk mengejar perkembangan ilmu dan teknologi jika sistem pendidikan masih dilakukan secara konvensional.
Keperluan akan penguasaan TIK telah diantisipasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan dimasukkannya kurikulum TIK dalam kurikulum 2004 dan sekarang Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan (KTSP) mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Diharapkan dengan diimplementasikannya kurikulum TIK ini akan meningkatkan kualitas proses pengajaran, kualitas penilaian kemajuan siswa, dan kualitas administrasi sekolah.

1. Pengertian  Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan juga merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Teknologi Komunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global. Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi TIK adalah mendapatkan informasi untuk kehidupan pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan rohani. Juga dapat berkomunikasi dengan biaya murah seperti fasilitas email yang dapat kita pergunakan dengan mudah di internet.
Melalui TIK, sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya sudah tidak lagi mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran antar sesama kita. Perkembangan TIK memicu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Alangkah wajar bila sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-learning, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan lainnya yang berbasis TIK.
1.      Aplikasi dan Potensi TIK dalam Pembelajaran di Sekolah
Di era global seperti sekarang ini, sudah banyak digunakan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi hampir keseluruhan aspek kehidupan sehari-hari manusia. Oleh karena itu, sebaiknya semua orang tidak 'gagap' teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siapa yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan-kesempatan untuk maju. Informasi sudah merupakan 'komoditi' sebagaimana layaknya barang ekonomi yang lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern seperti sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang sedang menuju ke era masyarakat informasi (information age) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau perguruan tinggi yang menawarkan jurusan informatika atau teknologi informasi berkembang dengan pesat. Dengan pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, internet telah menjadi suatu medium belajar dan mengajar yang perlu diperhitungkan kemanfaatannya. Internet mempunyai potensi yang besar dalam pembelajaran, baik sebagai sumber belajar, media, maupun pendukung pengelolaan proses belajar-mengajar (Koesnandar, dkk., 2007). Mengingat berbagai ragam informasi tersedia di internet dan dapat diakses secara lebih mudah, kapan saja, dan di mana saja sehingga internet menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengguna internet juga dapat berkomunikasi dengan berbagai pihak lain secara mudah melalui teknik e-moderating yang tersedia di internet (Soekartawi, 2002). Media informasi tanpa batas yang belakangan ini populer dengan sebutan internet perlu diketahui oleh peserta didik. Seperti halnya di dunia nyata maka di dunia maya juga ada hal positif dan negatifnya. Artinya, internet dapat memberikan informasi yang sifatnya mendidik, positif, dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Sebaliknya, internet juga bisa dijadikan sebagai lahan kejelekan dan kemaksiatan. Hanya etika, mental, dan keimanan masing-masing individu yang menentukan batas-batasnya. Interconnected Network atau yang lebih populer dengan sebutan Internet adalah sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan jutaan komputer dan jaringan komputer di seluruh dunia. Setiap komputer dan jaringan terhubung, baik secara langsung maupun tidak langsung ke beberapa jalur utama yang disebut internet backbone dan dibedakan satu dengan yang lainnya melalui unique name yang biasa disebut dengan alamat IP 32 bit. Contoh: 202.155.4.230 . Komputer dan jaringan dengan berbagai platform yang mempunyai perbedaan dan ciri khas masing-masing (Unix, Linux, Windows, Mac, dan lainnya) bertukar informasi dengan sebuah protokol standar yang dikenal dengan nama TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). TCP/IP tersusun atas 4 layer (network access, internet, host-to-host transport, dan application) yang masing-masing memiliki protokolnya sendiri-sendiri. E-learning atau electronic learning kini semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Banyak orang menggunakan istilah yang berbeda-beda mengenai e-learning, namun, pada prinsipnya e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan jasa elektronika sebagai alat bantunya. Untuk menyederhanakan istilah, maka electronic learning disingkat menjadi e-learning. Kata ini terdiri dari dua bagian, yaitu 'e' yang merupakan singkatan dari 'electronica' dan 'learning' yang berarti 'pembelajaran'. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Dalam pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Soekartawi merumuskan e-learning sebagai "a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly referred to as online courses (Soekartawi, 2002). Dari definisi ini, e-learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau komputer. Lebih lanjut, Soekartawi mengemukakan tiga hal yang mendorong mengapa e-learning menjadi salah satu pilihan untuk penyelesaian masalah pendidikan, yaitu (a) pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak hanya menjangkau negara-negara maju melainkan juga negara-negara berkembang, (b) tersedianya infrastruktur telekomunikasi yang memungkinkan terbukanya secara meluas peluang masyarakat untuk mengakses internet, dan (c) makin meningkatnya jumlah organisasi dan anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam menyediakan jasa layanan internet. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikemukakan empat karakteristik e-learning, yaitu (a) memanfaatkan jasa teknologi elektronik yang memudahkan guru dan peserta didik, peserta didik dan sesama peserta didik atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa dibatasi oleh hal-hal yang protokoler; (b) memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan jaringan komputer); (c) menggunakan bahan belajar mandiri (self-learning materials) yang disimpan di jaringan komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan peserta didik kapan dan di mana diperlukan; dan (d) memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar, dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer. Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap sehingga akan memberikan pengaruh terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar-mengajar didominasi oleh peran guru (era of teacher). Kini, proses belajar-mengajar banyak didominasi oleh peran guru dan buku (era of teacher and book) dan pada masa mendatang proses belajar-mengajar akan didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (era of teacher, book, and technology).
Namun sayangnya, di negeri kita yang kaya ini, dan terdiri dari berbagai pulau, hal di atas masih seperti mimpi karena struktur dan kultur serta SDM guru yang profesional belum merata dengan baik. Di berbagai kota besar seperti Jakarta misalnya, beberapa sekolah maju dan internasional telah mengaplikasikannya, tetapi buat sekolah-sekolah di daerah, mungkin masih jauh panggang dari api dalam mengaplikasikan TIK.
Meskipun TIK dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan. Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Terkadang anak-anak lebih senang bermain games ketimbang materi yang diberikan oleh guru. Karena games sangat menarik peserta didik untuk rehat sejenak dari segala pembelajaran yang diterimanya di sekolah. Dapat juga terjadi proses pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial. Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dan sebagainya. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk membimbing anak-anak belajar di rumah masing-masing.
Dengan memperhatikan pengalaman beberapa negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelas sekali TIK mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap proses dan hasil pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. TIK telah memungkinkan terjadinya individuasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan SDM secara keseluruhan. Melalui penggunaan TIK setiap siswa akan terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan menggunakan TIK menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan mengembangkan  semua potensi yang dimilikinya..
Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama, kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga, kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup, dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain, dan sebagainya. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat dikondensasikan. Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.
2.     Peran guru dalam mengaplikasikan TIK di sekolah
Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru.
Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya. Oleh karenanya, guru dituntut untuk membuat buku.
Sayangnya saat ini, masih banyak guru kita yang belum melek TIK atau ICT (Information and Communcation Technology). Mengacu pada hal tersebut di atas, sudah saatnya “GERAKAN MELEK ICT (ICT LITERACY MOVEMENT)” menjadi gerakan nasional yang sama “urgent”nya atau lebih “urgent” dibandingkan dengan GERAKAN KELUARGA BERENCANA di jaman Orde Baru dahulu, jaman Presiden Soeharto. Mudah-mudahan, dengan dibentuknya gerakkan melek ICT di sekolah, para guru dapat memaksimalkan potensi TIK dalam proses pembelajarannya. Pemerintah maupun swasta perlu bekerja sama dalam membantu guru melakukan pelatihan-pelatihan di bidang ICT, seperti penguasaan power point, ngeblog di internet, bikin software untuk bahan ajarnya, seperti menguasai program Macromedia Flash, Camtasia, dan lain sebagainya.
Aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah yang dikembangkan oleh guru dapat memberikan beberapa manfaat antara lain.
a. Pembelajaran menjadi lebih interaktif, simulatif, dan menarik
b. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / kompleks
c. Mempercepat proses yang lama
d. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi
e. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau di luar jangkauan

Sabtu, 18 September 2010

Anak jalanan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak

Salah satu definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah: “seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada tempat-tempat lain yang merupakan ruang-ruang publik yang memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti pasar, alun-alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dsb.


Sampai saat ini istilah “anak jalanan” belum tercantum dalam undang-undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut anak-anak terlantar. Pasal 34 UUD45 menyebutkan : “Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara”. Dalam konteks ini, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati; yakni, siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu?

Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “babak bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak . Di sana disebutkan bahwa anak terlantar adalah “anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara ruhani, jasmani maupun sosial”. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan” . begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.

UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.

Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49, KUHPerdata Ps 319) tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.

Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidak-konsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba, dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.

876 Pengemis Bekas Penderita Kusta Berkeliaran di Makassar

Kepala Dinas Sosial Kota Makassar Ibrahim Saleh memperdiksi sekitar 876 orang pengemis bekas penderita penyakit kusta tiga tahun terakhir berkeliaran di Makassar. Pihaknya kesulitan melakukan penertiban, karena mereka tidak bisa diatur. "Terang saja kami sedikit kesulitan," kata Ibrahim di Balai Kota Makassar, Kamis (7/1).


Ia menjelaskan, dari 876 pengemis bekas penderita kusta itu, sekitar 360 orang diantaranya bermukim di Kelurahan Jongayan Kecamatan Tamalate, 50 orang bermukim di Jalan Perintis Kemerdekaan, dan sisanya 466 orang berkeliaran di seluruh ruas jalan utama Makassar. Pengemis tersebut sebagian besar berasal dari daerah yang mengadu nasib di Makassar, mereka tidak pulang ke kampung halamanya karena sumber penghasilan hanya ditemukan di Makassar.

Awalnya, kata Ibrahim, mereka adalah penderita kusta yang telah diobati secara cuma-cuma oleh pemerintah. Harapan pemerintah, setelah mereka sembuh bisa kembali bekerja di kampung seperti sedia kala. " Setelah sembuh, eh mereka tidak mau pulang," katanya.

Sejak tiga tahun terakhir pemerintah terus mencari solusi penanganan pengemis, misalnya menyediakan angkutan untuk membawa mereka pulang ke daerah masing-masing, tapi ternyata mereka kembali lagi ke Makassar. Ada juga pengemis yang bersikeras tidak mau pulang ke daerahnya. "Ini persoalan sosial, jadi kita butuh pendekatan yang baik," katanya. Asal daerah para pengemis itu tersebar di 24 Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan.

Untuk 2010 ini, ia belum bisa memberi penjelasan mengenai bentuk penanganan pengemis. Ia berkelit sedang melakukan kajian. "Nanti saya rumuskan lebih detail lagi," katanya.

Anggota Komisi Kesejahtaraan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Makassar, Ikbal Djalil menilai tentu ada sebab sehingga pengemis tidak ingin pulang kampung, misalnya mereka tidak punya penghasilan di daerahnya dan selalu dikucilkan. Disinilah peran pemerintah, kata dia, menelorkan solusi jitu untuk kehidupan bekas penderita kusta ini.

Ia menawarkan agar pemerintah memberikan keterampilan dan modal terhadap mereka, supaya keinginan untuk mengemis tidak ada lagi. Pemerintah juga perlu memperkuat koneksi hingga ke daerah asal para pengemis, supaya ada tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengawasi mereka. "Administrasi kependudukan juga diperketat, supaya laju urbanisasi bisa dikontrol dengan baik," katanya.

Maraknya pengemis di Makassar sudah menjadi fenomena yang selalu disoroti berbagai pihak setiap tahunnya, pemerintah telah mebuat regulasi yang cukup banyak untuk menangani mereka. Diantaranya pembuatan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang penanggulangan pengemis dan anak jalanan. Namun aturan yang memberi sanksi kurungan penjara bagi pengemis yang berkeliaran di kota itu tersebut sulit diterapkan dengan baik. "Memang masih cukup kurang realisasinya," kata Ibrahim.

Saat ini pengemis bekas penderita kusta di Makassar berkeliaran hampir diseluruh ruas jalan dan pusat keramaian. Mereka mudah ditemui di Jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Balai Kota, Jalan Ahmad Yani. Selan itu mereka sering memasuki tempat wisata seperti Pantai Losari, kemudian warung makan dan kafe.

Keluarga Berencana Alamiah dan Pengentasan Kemiskinan

Sering kita melihat, membaca dan mendengar berita tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia karena tidak memiliki paspor atau surat-surat dokumentasi keimigrasian lainnya. Juga beberapa TKI mendapat perlakuan tidak senonoh, bahkan disiksa atau tidak digaji oleh majikannya. Pada bagian lain ada banyak anak jalanan, gelandangan dan pengemis berkeliaran di beberapa kota Negara kita. Semua fenomena ini memperlihatkan sebagian dari wajah-wajah suram situasi tenaga kerja Indonesia dan lebih dari itu menunjukkan fakta kemiskinan di Indonesia.




Relasi Kemiskinan dan Keluarga Berencana Kemiskinan dan Keluarga Berencana (KB) sebenarnya berelasi sangat erat. Sebuah keluarga yang dibangun tanpa perencanaan matang, bisa saja menemukan berbagai persoalan yang sulit dipecahkan seperti masalah ekonomi, jumlah anak yang terlalu banyak, pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, masalah kesehatan, masalah pendidikan anak yang berujung pada masalah kesempatan kerja dan berbagai masalah lainnya.

KB pada hakikatnya merupakan program yang turut berperan penting dalam menciptakan generasi masa depan bangsa Indonesia yang berkualitas serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Bila setiap keluarga di Indonesia merencanakan kelahiran anak secara bertanggungjawab maka kita akan memiliki generasi masa depan yang berkualitas dan siap pakai.Kenyataan membeludaknya TKI, pengangguran, tingginya angka kemiskinan, adanya anak jalanan, selain disebabkan oleh masalah sosial seperti kurangnya persediaan lapangan pekerjaan, rendahnya pendidikan, keterampilan dan keahlian, juga di balik itu memperlihatkan salah satu indikasi belum berhasil sepenuhnya penerapan program KB di Indonesia.

KB merupakan salah satu sarana bagi setiap keluarga baru untuk merencanakan pembentukan keluarga ideal, keluarga kecil bahagia dan sejahtera lahir dan bathin. Melalui program KB diharapkan terlahir manusia Indonesia yang berkualitas prima, yaitu manusia Indonesia yang memiliki kualitas diri antara lain beriman, cerdas, trampil, kreatif, mandiri, menguasai iptek, memiliki daya juang, bekerja keras, serta berorientasi ke depan. Karena itu KB seharusnya bukan hanya menjadi program pemerintah tetapi program dari setiap keluarga masyarakat Indonesia.

Kendala dan Problem Pengentasan Anak Jalanan

Belakangan ini, penanganan anak-anak jalanan menjadi sorotan masyarakat yang
amat tajam, yaitu berkaitan dengan masih maraknya anak-anak jalanan di
kota-kota besar. Persoalan itu menjadi sangat serius mengingat bahwa problem
anak
jalanan merupakan problem kota yang mesti ditangani sepadan dengan
masalah-masalah sosial lain, seperti gelandangan, pengungsi, dan pengangguran.
Untuk
mengenali anak-anak jalanan, ditemukan beberapa hal berkaitan dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa anak-anak turun ke jalan?

Pertama, kemiskinan. Alasan itu memang terasa klasik dan menjadi kambing
hitam semua persoalan sosial mulai dari ciblek, WTS, penjahat, gelandangan.
Namun, kemiskinanlah yang mendorong orang untuk urun ke jalan. Biasanya, hal itu
berawal dari orangtua yang kurang mempedulikan pendidikan anaknya karena
mereka sibuk mencari nafkah, suasana yang kurang harmonis dalam keluarga.
Orangtua yang tidak mengerti bagaimana mendidik anak secara benar dan bermutu
sangat
potensial anak-anaknya menjadi lepas kendali dan tidak mampu merengkuh
nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagaimana layaknya anak-anak yang lain.


Kedua, ling- kungan. Tempat anak tinggal akan sangat mempengaruhi pola
pergaulan anak-anak. Dari situasi lingkungan itu pula, kita akan segera tahu
latar
belakang awal mengapa anak-anak turun ke jalanan. Situasi lingkungan yang
keras, kumuh, banyak stres sangat memungkinkan anak-anak menjadi tidak betah
tinggal di rumah dan melarikan diri ke jalanan.

Jalanan mereka yakini sebagai konformitas sosial baru yang mampu memberikan
ruang kebebasan (baca = semua kebebasan) sehingga di sana diperoleh sahabat,
teman, serta membentuk mentalitas baru.

Ketiga, figur orangtua bukan figur teladan. Dari pengalaman-pengalaman
perjumpaan dengan anak jalanan, semakin kentara bahwa keluarga yang orangtuanya
broken home, masing-masing mempunyai WIL dan PIL sangat potensial anak-anaknya
turun ke jalanan. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orangtua
menjadi stressor yang sama sekali tidak mendidik anak-anak, bahkan anak menjadi
kehilangan figur idola.

Bisa jadi, mereka tidak miskin secara ekonomis, bahkan banyak juga anak-anak
jalanan yang dalam kelompok itu sosial ekonominya cukup mapan. Mengapa
mereka ke jalan?

Keempat, benturan antara nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global. Era
globalisasi yang sudah mulai kita rasakan membawa nilai baru ke dalam kehidupan
masyarakat kita berupa kebebasan, pergeseran nilai-nilai moral, dan semakin
kompleksnya tantangan kehidupan.

Kelima, klasifikasi anak jalanan sendiri. Kadang kala masyarakat hanya
melihatnya bahwa semua yang berada di jalanan itu pasti dalam kelas yang sama.
Mereka terdiri dari pengasong, penjual koran, pengamen, pemulung, pengemis,
pengelap kaca mobil. Keberadaan mereka di jalanan memang kadang merepotkan para
pengemudi terutama di perempatan-perempatan.

Meski mereka tidak akan mengganggu atau berbuat jahat, tetapi ''stigma''
yang melekat pada mereka membuat masyarakat pasang kuda-kuda. Daripada repot,
lebih baik selalu menyiapkan uang recehan, takut mobil digores, takut
dimaki-maki. Memang kadang juga ada yang memaksa dengan nada marah, meski kita
sudah
menjelaskan kalau kita memang tidak mempunyai uang. Tetapi, ada juga yang
dengan santun minggir, ketika kita mengatakan tidak punya recehan untuk
keperluan
tersebut.

Dua buku berjudul Eksploitasi Seksual terhadap Anak Berbagi Pengalaman
Penanganannya (1) dan Anak Jalanan Perempuan (2) ini berupaya memaparkan problem
dan solusi penanganan anak-anak jalanan. Persoalan anak jalanan merupakan
problem yang pelik untuk Kota Semarang. Sekalipun sudah banyak LSM yang
memberikan pendampingan namun toh kenyataannya dari ke hari jumlah mereka yang
turun
ke jalanan tidak semakin berkurang; malahan bertambah dan semakin variatif.

Pengamat masalah sosial banyak mengatakan, apa yang dikerjakan LSM-LSM dalam
hal itu belum optimal, atau kurang profesional. Mungkin saja demikian.
Tetapi, persoalannya kembali lagi bahwa berapa pun besarnya dana yang dikucurkan
untuk program itu sangat tergantung dari hal-hal berikut.

(1) Keseriusan anak-anak jalanan sendiri untuk kembali ke masyarakat dan
tidak lagi mencari kehidupan di jalanan.

(2) Kehidupan jalanan yang cenderung membentuk mentalitas tertentu. Dengan
terjun ke jalanan, mentalitas berubah, life style berubah, cara pandang
berubah, demikian pula dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan selayaknya
kehidupan
masyarakat pada umumnya.

(3) Ketika LSM yang juga mendampingi dan memberdayakan anak-anak jalanan
dikunjungi oleh pejabat yang jarang ke jalanan, mereka mengatakan ada baiknya
mereka diberikan pelajaran budi pekerti, agama, dan masukan-masukan tentang
moralitas beragama. Muara dari hal itu sebenarnya dipandang dari orangtua anak
jalanan harus terlibat dalam penanganan anak mereka sendiri sebagai bentuk
tanggung jawab mereka sebagai orangtua.

(4) ada orangtua yang mempekerjakan anak yang masih kecil di jalanan sebagai
pengamen, pengemis, pemulung, dan sebagainya.

(5) Kesungguhan dan keseriusan semua pihak terkait untuk memikirkan dan
menangani secara profesional. Apa yang salah dengan hal itu, sudah banyak
lokakarya diadakan, rapat-rapat yang begitu banyak, diskusi-diskusi dengan
makalah-makalah yang menggunung, tetapi masalahnya masih seperti gunung es di
tengah
lautan.

Petugas lapangan kerap kali menemukan beberapa kendala berikut dalam
pemberdayaan anak-anak jalanan. Pertama, dalam kaitan dengan keberadaan dana
Jaring
Pengaman Sosial (JPS) yang lagi marak. Dari asal mulanya saja, program JPS
sudah menimbulkan banyak masalah. Selain tidak terkoordinasi secara benar,
jalur yang terlalui sejak semula juga masih sisa-sisa rezim Orde Baru yang tentu
masih berlepotan dengan korupsi, kolusi, dan manipulasi.

Kedua, sama halnya dengan dana-dana Inpres Desa Tertinggal yang kemudian
menjadi rayahan tidak sampai ke sasaran, dana JPS-pun tidak luput dari keinginan
sebagian orang untuk mencari keuntungan pribadi.

Ketiga, begitu banyak LSM baru bermunculan untuk ikut terlibat dan mengelola
dana JPS. Kenyataan di lapangan, banyak orang dalam lembaga-lembaga
pemerintah yang terlibat dalam penyelenggaraan LSM pemberdaya anak-anak jalanan.

Keempat, minimnya sumber daya profesional dalam LSM-LSM itu untuk mengelola
dana secara benar. Harus diakui dengan jujur, salah satu kelemahan dari JPS
adalah lemahnya kontrol dan pengawasan, dan tidak ada pelatihan dan pembekalan
secara memadai dalam bidang keuangan atau administrasi untuk pelaksana di
lapangan.

Mungkin sisi itu yang cukup mengherankan, apalagi sering terdengar rumor
kalau ada pejabat datang ke LSM, pulangnya diberikan amplop sekadar untuk
oleh-oleh istri, anak, dan sebagainya.

Kelima, ketidaktulusan aktivis-aktivis pemerhati dan pelaksana pemberdayaan
anak-anak jalanan dalam melaksanakan tugas mereka. Hal itu akan berimbas pada
keseriusan, tampak dalam empatinya yang mendalam kepada penderitaan sesama
yang memerlukan pertolongan mesti dia adalah anak-anak jalanan.

Mungkin masalahnya tidak akan menjadi ruwet kalau sejak semula dalam semua
orang yang terlibat pemberdayaan tertanam semangat bahwa yang diberdayakan itu
anak-anak jalanan yang notabene mereka itu orang kecil, lemah, dan
tersingkir. Tanpa opsi yang tegas semacam itu, rasa-rasanya merupakan suatu
kemustahilan kalau pembelaan kepada mereka yang lemah bisa dikerjakan. Orang
mesti juga
mempunyai pendirian, ada atau tidak ada dana, pembelaan kepada mereka yang
lemah terus dikerjakan. Kedua buku ini menjadi referensi yang sangat penting
untuk itu.

Upaya Pengentasan GEPENG

Gelandangan , Pengemis danOrang Terlantar merupakan salah satu permasalahan  Sosial yang mendapat perhatian Pemerintah,karena masalah ini dapat merupakan ancaman dan hambatan dalam PembangunanNasional, yaitu Pengentasan Kemiskinan serta Upaya Peningkatan Sumber DayaManusia.


Gelandangan, Pengemis dan Orang Terlantar padadasarnya adalah warga masyarakat yang tergolong Fakir Miskin yang melakukanurbanisasi untuk menjalani kehidupannya. Pada umumnya mereka terdiri dari usiaproduktif dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan yang rendah, sehinggamereka tidak mampu bersaing / tersisih dari persaingan hidup yang tajam. Dalammenjalani kehidupan  dan penghidupannya,mereka tidak lagi mengindahkan agama, tatanan nilai / norma yang berlakusehingga mengarah pada perbuatan tercela dan dapat mengakibatkan terganggunyakeamanan , ketertiban dan kebersihan.

Gelandangan, Pengemis dan Orang terlantar akancenderung semakin bertambah, sebagai dampak kondisi sosial ekonomi saat  ini yang mengakibatkan bertambahnya jumlahmasalah kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketertiban dan kebersihan dan masalahsosial lainnya. Oleh karena itu  masalahgelandangan, pengemis dan orang terlantar harus segera ditangani baik olehpemerintah maupun masyarakat secara terencana, terarah danberkesinambungan.