Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan YME karena dengan seijinnya lah, kami h4iteam dapaat memeriahkan blog ini.

Sabtu, 18 September 2010

Anak jalanan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak

Salah satu definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah: “seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada tempat-tempat lain yang merupakan ruang-ruang publik yang memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti pasar, alun-alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dsb.


Sampai saat ini istilah “anak jalanan” belum tercantum dalam undang-undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut anak-anak terlantar. Pasal 34 UUD45 menyebutkan : “Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara”. Dalam konteks ini, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati; yakni, siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu?

Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “babak bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak . Di sana disebutkan bahwa anak terlantar adalah “anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara ruhani, jasmani maupun sosial”. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan” . begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.

UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.

Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49, KUHPerdata Ps 319) tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.

Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidak-konsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba, dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.

876 Pengemis Bekas Penderita Kusta Berkeliaran di Makassar

Kepala Dinas Sosial Kota Makassar Ibrahim Saleh memperdiksi sekitar 876 orang pengemis bekas penderita penyakit kusta tiga tahun terakhir berkeliaran di Makassar. Pihaknya kesulitan melakukan penertiban, karena mereka tidak bisa diatur. "Terang saja kami sedikit kesulitan," kata Ibrahim di Balai Kota Makassar, Kamis (7/1).


Ia menjelaskan, dari 876 pengemis bekas penderita kusta itu, sekitar 360 orang diantaranya bermukim di Kelurahan Jongayan Kecamatan Tamalate, 50 orang bermukim di Jalan Perintis Kemerdekaan, dan sisanya 466 orang berkeliaran di seluruh ruas jalan utama Makassar. Pengemis tersebut sebagian besar berasal dari daerah yang mengadu nasib di Makassar, mereka tidak pulang ke kampung halamanya karena sumber penghasilan hanya ditemukan di Makassar.

Awalnya, kata Ibrahim, mereka adalah penderita kusta yang telah diobati secara cuma-cuma oleh pemerintah. Harapan pemerintah, setelah mereka sembuh bisa kembali bekerja di kampung seperti sedia kala. " Setelah sembuh, eh mereka tidak mau pulang," katanya.

Sejak tiga tahun terakhir pemerintah terus mencari solusi penanganan pengemis, misalnya menyediakan angkutan untuk membawa mereka pulang ke daerah masing-masing, tapi ternyata mereka kembali lagi ke Makassar. Ada juga pengemis yang bersikeras tidak mau pulang ke daerahnya. "Ini persoalan sosial, jadi kita butuh pendekatan yang baik," katanya. Asal daerah para pengemis itu tersebar di 24 Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan.

Untuk 2010 ini, ia belum bisa memberi penjelasan mengenai bentuk penanganan pengemis. Ia berkelit sedang melakukan kajian. "Nanti saya rumuskan lebih detail lagi," katanya.

Anggota Komisi Kesejahtaraan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Makassar, Ikbal Djalil menilai tentu ada sebab sehingga pengemis tidak ingin pulang kampung, misalnya mereka tidak punya penghasilan di daerahnya dan selalu dikucilkan. Disinilah peran pemerintah, kata dia, menelorkan solusi jitu untuk kehidupan bekas penderita kusta ini.

Ia menawarkan agar pemerintah memberikan keterampilan dan modal terhadap mereka, supaya keinginan untuk mengemis tidak ada lagi. Pemerintah juga perlu memperkuat koneksi hingga ke daerah asal para pengemis, supaya ada tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengawasi mereka. "Administrasi kependudukan juga diperketat, supaya laju urbanisasi bisa dikontrol dengan baik," katanya.

Maraknya pengemis di Makassar sudah menjadi fenomena yang selalu disoroti berbagai pihak setiap tahunnya, pemerintah telah mebuat regulasi yang cukup banyak untuk menangani mereka. Diantaranya pembuatan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang penanggulangan pengemis dan anak jalanan. Namun aturan yang memberi sanksi kurungan penjara bagi pengemis yang berkeliaran di kota itu tersebut sulit diterapkan dengan baik. "Memang masih cukup kurang realisasinya," kata Ibrahim.

Saat ini pengemis bekas penderita kusta di Makassar berkeliaran hampir diseluruh ruas jalan dan pusat keramaian. Mereka mudah ditemui di Jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Balai Kota, Jalan Ahmad Yani. Selan itu mereka sering memasuki tempat wisata seperti Pantai Losari, kemudian warung makan dan kafe.

Keluarga Berencana Alamiah dan Pengentasan Kemiskinan

Sering kita melihat, membaca dan mendengar berita tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia karena tidak memiliki paspor atau surat-surat dokumentasi keimigrasian lainnya. Juga beberapa TKI mendapat perlakuan tidak senonoh, bahkan disiksa atau tidak digaji oleh majikannya. Pada bagian lain ada banyak anak jalanan, gelandangan dan pengemis berkeliaran di beberapa kota Negara kita. Semua fenomena ini memperlihatkan sebagian dari wajah-wajah suram situasi tenaga kerja Indonesia dan lebih dari itu menunjukkan fakta kemiskinan di Indonesia.




Relasi Kemiskinan dan Keluarga Berencana Kemiskinan dan Keluarga Berencana (KB) sebenarnya berelasi sangat erat. Sebuah keluarga yang dibangun tanpa perencanaan matang, bisa saja menemukan berbagai persoalan yang sulit dipecahkan seperti masalah ekonomi, jumlah anak yang terlalu banyak, pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, masalah kesehatan, masalah pendidikan anak yang berujung pada masalah kesempatan kerja dan berbagai masalah lainnya.

KB pada hakikatnya merupakan program yang turut berperan penting dalam menciptakan generasi masa depan bangsa Indonesia yang berkualitas serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Bila setiap keluarga di Indonesia merencanakan kelahiran anak secara bertanggungjawab maka kita akan memiliki generasi masa depan yang berkualitas dan siap pakai.Kenyataan membeludaknya TKI, pengangguran, tingginya angka kemiskinan, adanya anak jalanan, selain disebabkan oleh masalah sosial seperti kurangnya persediaan lapangan pekerjaan, rendahnya pendidikan, keterampilan dan keahlian, juga di balik itu memperlihatkan salah satu indikasi belum berhasil sepenuhnya penerapan program KB di Indonesia.

KB merupakan salah satu sarana bagi setiap keluarga baru untuk merencanakan pembentukan keluarga ideal, keluarga kecil bahagia dan sejahtera lahir dan bathin. Melalui program KB diharapkan terlahir manusia Indonesia yang berkualitas prima, yaitu manusia Indonesia yang memiliki kualitas diri antara lain beriman, cerdas, trampil, kreatif, mandiri, menguasai iptek, memiliki daya juang, bekerja keras, serta berorientasi ke depan. Karena itu KB seharusnya bukan hanya menjadi program pemerintah tetapi program dari setiap keluarga masyarakat Indonesia.

Kendala dan Problem Pengentasan Anak Jalanan

Belakangan ini, penanganan anak-anak jalanan menjadi sorotan masyarakat yang
amat tajam, yaitu berkaitan dengan masih maraknya anak-anak jalanan di
kota-kota besar. Persoalan itu menjadi sangat serius mengingat bahwa problem
anak
jalanan merupakan problem kota yang mesti ditangani sepadan dengan
masalah-masalah sosial lain, seperti gelandangan, pengungsi, dan pengangguran.
Untuk
mengenali anak-anak jalanan, ditemukan beberapa hal berkaitan dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa anak-anak turun ke jalan?

Pertama, kemiskinan. Alasan itu memang terasa klasik dan menjadi kambing
hitam semua persoalan sosial mulai dari ciblek, WTS, penjahat, gelandangan.
Namun, kemiskinanlah yang mendorong orang untuk urun ke jalan. Biasanya, hal itu
berawal dari orangtua yang kurang mempedulikan pendidikan anaknya karena
mereka sibuk mencari nafkah, suasana yang kurang harmonis dalam keluarga.
Orangtua yang tidak mengerti bagaimana mendidik anak secara benar dan bermutu
sangat
potensial anak-anaknya menjadi lepas kendali dan tidak mampu merengkuh
nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagaimana layaknya anak-anak yang lain.


Kedua, ling- kungan. Tempat anak tinggal akan sangat mempengaruhi pola
pergaulan anak-anak. Dari situasi lingkungan itu pula, kita akan segera tahu
latar
belakang awal mengapa anak-anak turun ke jalanan. Situasi lingkungan yang
keras, kumuh, banyak stres sangat memungkinkan anak-anak menjadi tidak betah
tinggal di rumah dan melarikan diri ke jalanan.

Jalanan mereka yakini sebagai konformitas sosial baru yang mampu memberikan
ruang kebebasan (baca = semua kebebasan) sehingga di sana diperoleh sahabat,
teman, serta membentuk mentalitas baru.

Ketiga, figur orangtua bukan figur teladan. Dari pengalaman-pengalaman
perjumpaan dengan anak jalanan, semakin kentara bahwa keluarga yang orangtuanya
broken home, masing-masing mempunyai WIL dan PIL sangat potensial anak-anaknya
turun ke jalanan. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orangtua
menjadi stressor yang sama sekali tidak mendidik anak-anak, bahkan anak menjadi
kehilangan figur idola.

Bisa jadi, mereka tidak miskin secara ekonomis, bahkan banyak juga anak-anak
jalanan yang dalam kelompok itu sosial ekonominya cukup mapan. Mengapa
mereka ke jalan?

Keempat, benturan antara nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global. Era
globalisasi yang sudah mulai kita rasakan membawa nilai baru ke dalam kehidupan
masyarakat kita berupa kebebasan, pergeseran nilai-nilai moral, dan semakin
kompleksnya tantangan kehidupan.

Kelima, klasifikasi anak jalanan sendiri. Kadang kala masyarakat hanya
melihatnya bahwa semua yang berada di jalanan itu pasti dalam kelas yang sama.
Mereka terdiri dari pengasong, penjual koran, pengamen, pemulung, pengemis,
pengelap kaca mobil. Keberadaan mereka di jalanan memang kadang merepotkan para
pengemudi terutama di perempatan-perempatan.

Meski mereka tidak akan mengganggu atau berbuat jahat, tetapi ''stigma''
yang melekat pada mereka membuat masyarakat pasang kuda-kuda. Daripada repot,
lebih baik selalu menyiapkan uang recehan, takut mobil digores, takut
dimaki-maki. Memang kadang juga ada yang memaksa dengan nada marah, meski kita
sudah
menjelaskan kalau kita memang tidak mempunyai uang. Tetapi, ada juga yang
dengan santun minggir, ketika kita mengatakan tidak punya recehan untuk
keperluan
tersebut.

Dua buku berjudul Eksploitasi Seksual terhadap Anak Berbagi Pengalaman
Penanganannya (1) dan Anak Jalanan Perempuan (2) ini berupaya memaparkan problem
dan solusi penanganan anak-anak jalanan. Persoalan anak jalanan merupakan
problem yang pelik untuk Kota Semarang. Sekalipun sudah banyak LSM yang
memberikan pendampingan namun toh kenyataannya dari ke hari jumlah mereka yang
turun
ke jalanan tidak semakin berkurang; malahan bertambah dan semakin variatif.

Pengamat masalah sosial banyak mengatakan, apa yang dikerjakan LSM-LSM dalam
hal itu belum optimal, atau kurang profesional. Mungkin saja demikian.
Tetapi, persoalannya kembali lagi bahwa berapa pun besarnya dana yang dikucurkan
untuk program itu sangat tergantung dari hal-hal berikut.

(1) Keseriusan anak-anak jalanan sendiri untuk kembali ke masyarakat dan
tidak lagi mencari kehidupan di jalanan.

(2) Kehidupan jalanan yang cenderung membentuk mentalitas tertentu. Dengan
terjun ke jalanan, mentalitas berubah, life style berubah, cara pandang
berubah, demikian pula dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan selayaknya
kehidupan
masyarakat pada umumnya.

(3) Ketika LSM yang juga mendampingi dan memberdayakan anak-anak jalanan
dikunjungi oleh pejabat yang jarang ke jalanan, mereka mengatakan ada baiknya
mereka diberikan pelajaran budi pekerti, agama, dan masukan-masukan tentang
moralitas beragama. Muara dari hal itu sebenarnya dipandang dari orangtua anak
jalanan harus terlibat dalam penanganan anak mereka sendiri sebagai bentuk
tanggung jawab mereka sebagai orangtua.

(4) ada orangtua yang mempekerjakan anak yang masih kecil di jalanan sebagai
pengamen, pengemis, pemulung, dan sebagainya.

(5) Kesungguhan dan keseriusan semua pihak terkait untuk memikirkan dan
menangani secara profesional. Apa yang salah dengan hal itu, sudah banyak
lokakarya diadakan, rapat-rapat yang begitu banyak, diskusi-diskusi dengan
makalah-makalah yang menggunung, tetapi masalahnya masih seperti gunung es di
tengah
lautan.

Petugas lapangan kerap kali menemukan beberapa kendala berikut dalam
pemberdayaan anak-anak jalanan. Pertama, dalam kaitan dengan keberadaan dana
Jaring
Pengaman Sosial (JPS) yang lagi marak. Dari asal mulanya saja, program JPS
sudah menimbulkan banyak masalah. Selain tidak terkoordinasi secara benar,
jalur yang terlalui sejak semula juga masih sisa-sisa rezim Orde Baru yang tentu
masih berlepotan dengan korupsi, kolusi, dan manipulasi.

Kedua, sama halnya dengan dana-dana Inpres Desa Tertinggal yang kemudian
menjadi rayahan tidak sampai ke sasaran, dana JPS-pun tidak luput dari keinginan
sebagian orang untuk mencari keuntungan pribadi.

Ketiga, begitu banyak LSM baru bermunculan untuk ikut terlibat dan mengelola
dana JPS. Kenyataan di lapangan, banyak orang dalam lembaga-lembaga
pemerintah yang terlibat dalam penyelenggaraan LSM pemberdaya anak-anak jalanan.

Keempat, minimnya sumber daya profesional dalam LSM-LSM itu untuk mengelola
dana secara benar. Harus diakui dengan jujur, salah satu kelemahan dari JPS
adalah lemahnya kontrol dan pengawasan, dan tidak ada pelatihan dan pembekalan
secara memadai dalam bidang keuangan atau administrasi untuk pelaksana di
lapangan.

Mungkin sisi itu yang cukup mengherankan, apalagi sering terdengar rumor
kalau ada pejabat datang ke LSM, pulangnya diberikan amplop sekadar untuk
oleh-oleh istri, anak, dan sebagainya.

Kelima, ketidaktulusan aktivis-aktivis pemerhati dan pelaksana pemberdayaan
anak-anak jalanan dalam melaksanakan tugas mereka. Hal itu akan berimbas pada
keseriusan, tampak dalam empatinya yang mendalam kepada penderitaan sesama
yang memerlukan pertolongan mesti dia adalah anak-anak jalanan.

Mungkin masalahnya tidak akan menjadi ruwet kalau sejak semula dalam semua
orang yang terlibat pemberdayaan tertanam semangat bahwa yang diberdayakan itu
anak-anak jalanan yang notabene mereka itu orang kecil, lemah, dan
tersingkir. Tanpa opsi yang tegas semacam itu, rasa-rasanya merupakan suatu
kemustahilan kalau pembelaan kepada mereka yang lemah bisa dikerjakan. Orang
mesti juga
mempunyai pendirian, ada atau tidak ada dana, pembelaan kepada mereka yang
lemah terus dikerjakan. Kedua buku ini menjadi referensi yang sangat penting
untuk itu.

Upaya Pengentasan GEPENG

Gelandangan , Pengemis danOrang Terlantar merupakan salah satu permasalahan  Sosial yang mendapat perhatian Pemerintah,karena masalah ini dapat merupakan ancaman dan hambatan dalam PembangunanNasional, yaitu Pengentasan Kemiskinan serta Upaya Peningkatan Sumber DayaManusia.


Gelandangan, Pengemis dan Orang Terlantar padadasarnya adalah warga masyarakat yang tergolong Fakir Miskin yang melakukanurbanisasi untuk menjalani kehidupannya. Pada umumnya mereka terdiri dari usiaproduktif dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan yang rendah, sehinggamereka tidak mampu bersaing / tersisih dari persaingan hidup yang tajam. Dalammenjalani kehidupan  dan penghidupannya,mereka tidak lagi mengindahkan agama, tatanan nilai / norma yang berlakusehingga mengarah pada perbuatan tercela dan dapat mengakibatkan terganggunyakeamanan , ketertiban dan kebersihan.

Gelandangan, Pengemis dan Orang terlantar akancenderung semakin bertambah, sebagai dampak kondisi sosial ekonomi saat  ini yang mengakibatkan bertambahnya jumlahmasalah kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketertiban dan kebersihan dan masalahsosial lainnya. Oleh karena itu  masalahgelandangan, pengemis dan orang terlantar harus segera ditangani baik olehpemerintah maupun masyarakat secara terencana, terarah danberkesinambungan.  

Kiat Penanganan Gelandangan dan Pengemis

PENYANDANG masalah sosial, seperti gelandangan dan pengemis (Gepeng), tampaknya menjadi rona tersendiri yang tak pernah pupus mencoreng wajah perkotaan, kendati manusia yang bermartabat tahu bahwa meminta-minta (mengemis) merupakan pekerjaan yang tergolong hina.


Sebagai contoh di Kota Banjarmasin yang menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, penyakit gepeng belakangan ini tampaknya semakin parah, tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tua renta, tetapi juga banyak dilakoni kaum wanita setengah baya dan muda, bahkan anak-anak belia.

Wajah kota Banjarmasin seakan tercoreng dengan maraknya gepeng yang mangkal hampir pada setiap persimpangan jalan terutama di seputar lampu lalu lintas sejak pagi hingga malam hari, serta dalam cuaca yang panas terik dan keadaan hujan.

Bahkan gepeng belia yang masih dalam usia sekolah kelihatannya lebih berani menyerempet-nyerempet mobil saat berhenti di lampu lalu lintas. Mereka menadahkan tangan minta belas kasihan orang yang lalu-lalang di jalan raya itu, sehingga kondisi itu membahayakan nyawa mereka, maupun pengemudi motor.

Terhadap penyandang masalah sosial yang satu ini timbul sejumlah pertanyaan, siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan itu. Sampai saat ini mereka belum banyak tersentuh program kesejahteraan rakyat.

Tampaknya pemerintah belum peduli dengan upaya pengentasan mereka dari lembah kemiskinan, yang merebak pada hampir semua kota di Indonesia. Secara umum penanganan gepeng atau pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab semua pihak.

Menyadari akan tanggung jawab masalah gepeng itu, Komisi E bidang kesra DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) bersama mitra kerja terkait melakukan studi banding ke Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI Jaya) untuk urun rembug dengan beberapa pejabat pemerintah propinsi (Pemprop) di Ibukota Negara tersebut.

Pasalnya dalam penanganan masalah gepeng di Kota Banjarmasin khususnya, pihak pemerintah kota (Pemko) setempat melalui dinas/instansi terkait telah beberapa kali melakukan razia dan penangkapan terhadap penyandang masalah sosial itu, tetapi tampaknya mereka tetap beroperasi di jalanan.

Menjawab pertanyaan salah seorang anggota rombongan Komisi E yang diketuai, Drs.H.Bastian Thaib itu, pihak Dinas Kesejahteraan Sosial (Kesos) DKI Jaya berpendapat, gepeng merupakan residu-residu kegagalan.

Namun tidak dijelaskan kegagalan dimaksud, tetapi secara tidak langsung Dinas Kesos DKI Jaya tampaknya mengaku belum bisa menuntaskan penanganan gepeng, karena selain permasalahannya cukup kompleks, juga terkesan Kota Jakarta sebagai tumpuan harapan menyambung hidup dengan cara apapun termasuk mengemis.

Guna sedikit memudahkan penanganan gepeng tersebut, pihak Dinas Kesos DKI Jaya mencoba memberi identifikasi serta mengklasifikasi para penyandang masalah sosial itu yang pada dasarnya terbagi dua, kelompok non potensial dan potensial.

Kelompok potensial memungkinkan untuk dilakukan pembinaan, sementara yang non potensial tak mungkin lagi bisa dibina antara lain karena gangguan kejiwaan (gila) dan cacat berat.

Pembinaan gepeng kelompok potensial tersebut dapat dilakuka melalui panti dan non panti, tetapi pembina harus mengetahui asal usul daerahnya serta identifikasi penyebab yang mengakibatkan mereka menjadi penyandang masalah sosial itu.

Kalau keterperosokan ke dalam dunia gepeng itu disebabkan faktor ekonomi atau pendapatan yang kurang memadai, mereka bisa diberi bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya, di samping bantuan modal usaha.

Begitu pula gepeng yang terdampar di perkotaan akibat sesuatu dan lain hal bisa dikembalikan ke daerah asal sejauh hal tersebut bukan faktor kesengajaan. Untuk penanganan masalah itu semua tentunya harus ada koordinasi dan kerjasama yang baik dengan daerah asal gepeng tersebut.


Jerat hukum

Juru dakwah Islam di Banjarmasin mengimbau pelalu-lalang jalan raya agar tidak memberi uang kepada penyandang masalah sosial itu, terlebih lagi kepada mereka yang secara fisik punya kemampuan untuk bekerja membanting tulang mencari nafkah, bukan sebagai pengemis.

Bahkan di antara ulama ada yang dengan keras dan berani menyatakan haram hukumnya memberi sedekah kepada pengemis, sementara pengemis itu tergolong mampu untuk bekerja, seperti bertani dan menjadi pembantu rumah tangga atau buruh mencuci pakaian.

Seorang pengamat sosial wanita alumnus perguruan tinggi Islam berpendapat, penanganan gepeng yang dilakukan Pemko Banjarmasin selama ini terkesan kurang terencana dengan baik dan benar, sehingga hasilnya bukan meminimalisir, tetapi justru sebaliknya tambah marak.

"Penanganan gepeng oleh Pemko Banjarmasin selama ini tampaknya tanggung, karena tindakan yang dilakukan tidak membuat jera dan tidak pula bersifat membina dengan mengarahkan ke jalan yang lebih baik dalam mencari nafkah," tuturnya.

Oleh sebab itu, seperti langkah yang dilakukan Pemprop DKI Jaya dengan membuat peraturan daerah (Perda) kependudukan, termasuk di dalamnya masalah gepeng, perlu dipertimbangkan untuk ditindaklajuti sebagai suatu jerat hukum.

Misalnya warga pendatang yang mau mencari pekerjaan dalam tempo tertentu belum juga mendapatkan lapangan kerja, harus segera dipulangkan ke tempat/daerah asalnya, sehingga tidak menjadi gepeng di perkotaan.

"Namun alangkah bijaksananya kalau penanganan gepeng melalui jerat hukum itu mengandung keterpaduan, antara membuat mereka jera dan menjadi sadar. Untuk itu semua perlu program yang betul-betul terarah serta terencana secara baik dan benar, dengan penekanan pada pembinaan yang ditopang Perda," saran pengamat tersebut.

Konsep lain dalam penanganan gepeng yang ditawarkan dan selama ini dilakukan pihak Pemprov DKI Jaya melalui dinas/instansi berkaitnya ialah menghimpun dana dari berbagai pihak untuk pembinaan terhadap para penyandang masalah sosial tersebut.

Dana yang terhimpun secara terkoordinasi dan terpadu itu, antara lain bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan guna pembekalan lagi gepeng dalam menatap masa depan mereka yang lebih baik, termasuk bantuan terhadap mereka yang datang ke ibukota dan nasibnya terlunta-lunta karena tak punya uang untuk kembali ke daerah asal.

Jumat, 17 September 2010

Penanganan Pengemis Tetap Harus Persuasif

JAKARTA (Suara Karya) Untuk menangani penyandang masalah sosial, gelandangan, dan pengemis, harus dilakukan secara persuasif. Sebab, memang sudah tanggung jawab pemerintah untuk membina mereka.
Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial (Kemensos) Drs H Chazali Husni Situmorang Apt MSc di sela-sela pelantikan pejabat eselon II di jajaran Kemensos, Jakarta, Jumat (30/7). "Makanya, kalau mereka terjaring, jangan diartikan mereka tertangkap," ujarnya
Untuk itu, dia mengimbau kepada para petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PPJ agar dalam melakukan penertiban bersikap persuasif Disaran-kannya, kalau bisa, Pemda DKI juga menggunakan para pekerja sosial (peksos) saat menggelar penertiban. Dikatakannya, Kemensos sangat siap menghadapi serbuan gelandangan dan pengemis (gepeng), yang biasanya terjadi pada bulan suci.
Peksos memang sudah dilatih untuk melakukan
pendekatan secara persuasif kepada para penyandang masalah sosial. Sehingga, dalam membangun komunikasi bisa sejalan dan diterima. Karena itu, sudah seharusnya pemda melibatkan para peksos ketika akan menertibkan dan membina mereka.
Para penyandang masalah sosial, khususnya para anak jalanan (anjal), yang terjaring akan ditanganisesuai dengan kondisinya masing-masing. Untuk anjal usia sekolah dan masih mau bersekolah, apabila terjaring, akan dikembalikan ke sekolah. Sedangkan untuk anjal yang sudah putus sekolah, diarahkan ke rumah singgah. "Di sana mereka diberi pelatihan berbagai keterampilan," ujarnya.
Diterangkannya, sampai saat ini terdapat sedikitnya tiga ribu pekerja sosial se-Tanah Air. Dari jumlah itu, yang resmi tenaga fungsional hanya 1.156 orang. Sekarang ada 250 unit panti. Maka kalau satu panti berisi 100 penyandang masalah sosial, setiap satu orang peksos akan mendampingi sekitar 18 orang.
Kondisi tersebut tentunya tidak idea) karenaidealnya seorang peksos hanya mendamping 4-5 orang penyandang masalah sosial.

Kamis, 16 September 2010

Gelandangan di Indonesia

Beberapa hari terakhir, terutama saat memasuki bulan ramadhan, persoalan gelandangan mencuat di pemberitaan media nasional, dan ramai menjadi perbincangan politik. Ada beberapa hal yang membuat isu ini tiba-tiba mencuat, diantaranya keputusan MUI untuk mengharamkan pengemis dan pemberlakuan Peraturan daerah DKI nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum.


Bagi para gelandangan, kedua keputusan ini benar-benar membunuh kehidupan mereka, dan menghilangkan harapan mereka untuk mendapatkan sesuap nasi. Anehnya, meskipun persoalan ini sudah berumur ratusan tahun di Indonesia, tapi pemerintah tetap saja meresponnya dengan logika berfikir fasistik; musnahkan!
 

Gelandangan Pertama Kali

Apakah gelandangan itu? Secara etimologi, gelandangan dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal tetap. Dalam sejarah perkembangan masyarakat, mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari lapangan produksi, dan terbuang dari kelasnya.

Di eropa misalnya, ketika memasuki revolusi Industri, gelandangan atau vagrants berawal dari pengusiran para petani dari ladang-ladangnya, kemudian memilih berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan (urbanisasi).

Di Indonesia, untuk pertama kalinya, sebuah laporan kolonial yang menjelaskan mengenai keberadaan para gelandangan, sudah terdokumentasi pada abad 18. Dalam laporan itu disebutkan, antara Semarang dan Jogjakarta terdapat sekitar 35 ribu orang pekerja kasar, yang disebut sebagai batur. Mereka ini, menurut laporan itu, tidak memakai baju, bercelana cawet, tidak punya tempat tinggal tetap, dan juga keluarga tetap.

Setiap hari, para batur ini bekerja secara serabutan, terutama menjadi pengangkut barang di pasar-pasar. Dari pekerjaannya itu, mereka hanya mendapat hasil yang kecil, sehingga seringkali dihabiskan di tempat perjudian. Mereka hidup secara liar, sering terlibat dalam kerusuhan, sehingga dipandang sebagai pengganggu oleh pemerintah kolonial.

Menurut penelusuran sejarah, para batur sudah hadir semenjak perang diponegoro berlangsung, dan menjadi unsur penting dalam perlawanan tersebut. Mereka menjadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan diponegoro di wilayah Jawa Tengah.
Pada masa pelaksaan tanam paksa, jumlah batur meningkat dengan pesat di Indonesia, sebab banyak petani yang terusir dari tanahnya, mengalami kegagalan panen, atau terjadi kekeringan panjang. Kelaparan menimpa rakyat dimana-mana, sehingga banyak diantara mereka meninggalkan desanya menuju ke kota, dengan harapan mendapatkan bahan makanan.

Bagi pemerintah kolonial, kehadiran gelandangan ini bukan hanya dipandang sebagai persoalan ekonomi dan social, tapi juga dipandang sebagai persoalan politik yang serius. Pasalnya, dalam gerakan melawan pemerintah kolonial ketika itu, para gelandangan selalu menjadi partisan paling aktif dan berani mati.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah kolonial berupaya menampung mereka dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastuktur, seperti pembuatan jalan raya, pembangunan kantor atau gudang, awak kapal, galangan kapal, dsb.

Ketika krisis ekonomi 1930-an, misalnya, pemerintah kolonial begitu aktif mengintervensi sektor industri agar tidak bangkrut dan melahirkan pengangguran. Selain itu, pemerintah juga berupaya mengatasi persoalan kelaparan. Di Indramayu, misalnya, pemerintah terpaksa mendistribusikan beras dari gudang, guna mencega kelaparan dan pemberontakan.

Problem Gelandangan Sekarang Ini

Sekarang ini, persoalan gelandangan masih menghiasi daftar kegagalan pembangunan ekonomi dan social di Indonesia. Di berbagai kota besar di seantero negeri ini, para gelandangan memadati lampu merah, emperan toko, dan kawasan-kawasan tertentu, sehingga menjadi fenomena tersendiri di dalam kehidupan social perkotaan di Indonesia.

Menurut saya, persoalan gelandangan sekarang ini agak sedikit berbeda dengan fenomena para batur di abad 12, ataupun para vagrants di eropa pada saat revolusi Industri.

Menurut Mike Davis, seorang komentator sosial berkebangsaan merika, persoalan pengangguran bersifat inheren di dalam masyarakat kapitalis. Karena motivasi seorang kapitalis adalah mencari keuntungan, maka dia akan terus menerus berupaya memperluas industri. menurutnya, peningkatan pengangguran dihasilkan oleh perkembangan industri manufaktur, terutama penggunaan teknologi atau teknik produksi yang lebih modern dan menghemat tenaga kerja.

Di sisi lain, menurut Davis, terjadi peningkatan besar dari produksi pertanian akibat penggunaan teknologi modern dalam pertanian. Situasi ini mendorong semakin banyak orang kehilangan pekerjaan, sehingga memilih pindah ke kota dan berusaha mencari pekerjaan.

Hanya saja, menurut davis, ada perbedaan antara pemicu pengangguran di Negara industri maju dengan Negara berkembang. Di Negara kapitalis maju, pengangguran dipicu oleh pengurangan jam kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, akibat penerapan mekanisasi dan teknologi modern di sektor industri. Sementara di negera berkembang, pemicu utama pengangguran adalah gejala de-industrialisasi akibat proyek neoliberal.

Menurut dia, campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam merestrukturisasi perekonomian dunia ketiga, termasuk Indonesia, telah mendorong kehancuran sektor pertanian, menghancurkan pasar domestik, penutupan pabrik, PHK besar-besaran, dan tekanan terhadap upah.

Dampak kebijakan penyesuaan structural juga nampak dalam pertumbuhan jumlah penganggur di Indonesia. Menurut catatan, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia). Nah, angka 70% ini merupakan potensial gelandangan.

Dengan komposisi pengangguran seperti itu, maka tidak heran bila gelandangan juga terus menjamur di berbagai sudut kota di Indonesia. Ini bukan fenomena orang-orang malas, seperti yang difitnahkan sejumlah orang pintar dan beragama di republik ini, melainkan persoalan kegagalan sebuah sistim ekonomi. Siapa yang patut dipersalahkan? Jawabnya: 100% pemerintah.

Jadi, misalnya, bila pemda DKI tetap memaksakan pemberlakukan Perda Tibun, maka dampak sosialnya akan sangat luas. sebab, sasaran utama dari kebijakan ini adalah sektor informal, yang jumlahnya sangat besar.

Terkait mentalitas pejabat di Indonesia, seorang sopir bajaj pernah mengatakan kepada saya; “jangan pernah jadi pejabat di Indonesia, mas,” kata dia, “nanti kehilangan hati dan otak,” ujarnya. Menurut dia, ketika menjadi pejabat di Indonesia hati nurani akan dibuang, sehingga tidak memiliki sensifitas kemanusiaan, sementara ketidaan otak membuat para pejabat itu kehilangan fikiran.

Apa yang dikatakan oleh supir bajaj tadi, mungkin saja ada benarnya. Hanya saja, kita berharap agar MUI, Pemda DKI, dan pejabat di negeri ini lebih manusiawi dalam mengurusi rakyatnya, bukan bersandar pada logika keuntungan semata.

Hak Kesehatan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Terlantar Masih Terabaikan

Bandung - Program Penyaluran kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) belum menjangkau kaum gelandangan, pengemis, dan anak telantar.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Kesehatan, Syafii Ahmad, mengakui kondisi ini pada Pertemuan Midterm Pelaksanaan Program Jamkesmas 2009 Tingkat Nasional di Bandung, Jumat (3/1).


Menurutnya, sampai saat ini masih ada 40 juta lebih kaum miskin yang belum mendapatkan kartu Jamkesmas. "Terutama gelandangan, pengemis, dan anak telantar karena sulit didata," jelas Syafii.

Secara garis besar, kata Syafii, ada empat kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas yakni kepesertaan, pelayanan, pendanaan, dan pengorganisasian program. Ia mencontohkan kendala pengorganisasian, yakni kurang optimalnya fungsi tim pengelola dan kordinasi provinsi, kabupaten/kota.

"Akibatnya pelaksanaan Jamkesmas yang dibiayai APBN dengan yang didanai APBD kurang harmonis," keluhnya.

Pada 2009, Depkes mengalokasi dana senilai Rp4,6 trilyun untuk anggaran peningkatan kesehatan kaum miskin. Anggaran itu dibagi untuk pembiayaan pasien rujukan di rumah sakit senilai Rp3,6 triliun dan Jaminan Kesehatan Dasar (Jamkesdas) di tingkat puskesmas senilai Rp1 triliun.

Upaya Penanggulangan Anak Terlantar, Gelandangan, dan Pengemis

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas.
Anak terlantar identik dengan kemiskinan sehingga bertambahnya populasi mereka dapat menjadi indikator bertambahnya keluarga miskin. Kemiskinan memunculkan gelandangan dan pengemis (gepeng), mereka menjadikan tempat apapun sebagai arena hidup termasuk pasar, kolong jembatan, trotoar ataupun ruang terbuka yang ada.
Penanganan anak, seperti anak terlantar sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sementara anak jalanan berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Maka pada Rabu, 13 Januari 2010 Puspiptek bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Terlantar, Gelandangan dan Pengemis (KPAG) Kota Tangerang Selatan mengadakan seminar nasional “Upaya Penanggulangan Anak Terlantar, Gelandangan dan Pengemis dalam Perspektif Pemerintah Pusat dan Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Sebagai pembicara pada acara tersebut adalah Rini Handayani dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan topik Kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak dalam penanggulangan anak terlantar gelandangan dan pengemis, Listya Windyarti dari Dinas Sosial Tangerang Selatan dengan topik Penanggulangan Anak Jalanan dan Gepeng, dan selaku moderator pada acara tersebut Ali Syahbana, Ketua I KPAG Tangerang Selatan.
Acara dihadiri oleh Asisten Deputi Penyandang Cacat dan Lansia Menko Kesra, Kepala Bidang Advokasi Fasilitasi Masalah Sosial Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Asisten Daerah (ASDA III) Propinsi Banten, Wali Kota Tangerang Selatan, Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Tangerang Selatan serta Kepala Bidang Kerjasama dan Pemasaran Puspiptek. (puspiptek/humasristek)
Sumber : ristek.go.id

Minggu, 05 September 2010

Penanganan Gepeng

Penyandang masalah sosial, seperti gelandangan dan pengemis (Gepeng), tampaknya menjadi rona tersendiri yang tak pernah pupus mencoreng wajah perkotaan, kendati manusia yang bermartabat tahu bahwa meminta-minta (mengemis) merupakan pekerjaan yang tergolong hina. Sebagai contoh di Kota Ambon, penyakit gepeng belakangan ini tampaknya semakin parah, tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tua renta, tetapi juga banyak dilakoni kaum wanita setengah baya dan muda, bahkan anak-anak belia. Wajah Kota Ambon seakan tercoreng dengan maraknya gepeng yang mangkal hampir pada setiap persimpangan jalan terutama di seputar lampu lalu lintas sejak pagi hingga malam hari, serta dalam cuaca yang panas terik dan keadaan hujan.
Bahkan gepeng belia yang masih dalam usia sekolah kelihatannya lebih berani menyerempet-nyerempet mobil saat berhenti di lampu lalu lintas. Mereka menadahkan tangan minta belas kasihan orang yang lalu-lalang di jalan raya itu, sehingga kondisi itu membahayakan nyawa mereka, maupun pengemudi motor. Terhadap penyandang masalah sosial yang satu ini timbul sejumlah pertanyaan, siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan itu. Sampai saat ini mereka belum banyak tersentuh program kesejahteraan rakyat. Tampaknya pemerintah belum peduli dengan upaya pengentasan mereka dari lembah kemiskinan, yang merebak pada hampir semua kota di Indonesia. Secara umum penanganan gepeng atau pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab semua pihak. Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon melalui dinas/instansi terkait telah beberapa kali melakukan razia dan penangkapan terhadap penyandang masalah sosial itu, tetapi tampaknya mereka tetap beroperasi di jalanan. Walikota Ambon, MJ Papilaja bahkan telah menegaskan Kota Ambon harus bebas dari gepeng karena tidak ada budaya gepeng orang Ambon atau orang Maluku. Walikota bahkan menegaskan dinas teknis terkait akan terus melakukan operasi gepeng secara terus menerus. Jika dilihat secara saksama para gepeng tersebut yang pada dasarnya terbagi dua, kelompok non potensial dan potensial. Kelompok potensial memungkinkan untuk dilakukan pembinaan, sementara yang non potensial tak mungkin lagi bisa dibina antara lain karena gangguan kejiwaan (gila) dan cacat berat. Pembinaan gepeng kelompok potensial tersebut dapat dilakukan melalui panti dan non panti, tetapi pembina harus mengetahui asal usul daerahnya serta identifikasi penyebab yang mengakibatkan mereka menjadi penyandang masalah sosial itu. Kalau keterperosokan ke dalam dunia gepeng itu disebabkan faktor ekonomi atau pendapatan yang kurang memadai, mereka bisa diberi bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya, di samping bantuan modal usaha. Begitu pula gepeng yang terdampar di perkotaan akibat sesuatu dan lain hal bisa dikembalikan ke daerah asal sejauh hal tersebut bukan faktor kesengajaan. Untuk penanganan masalah itu semua tentunya harus ada koordinasi dan kerjasama yang baik dengan daerah asal gepeng tersebut. (*)

Permasalahan Gepeng & Denda Rp6 Juta

Pemda Sumut terus menabuh genderang untuk memberantas gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang sering kali memunculkan permasalahan baru di bidang kehidupan sosial masyarakat. Lahirnya pemikiran untuk membahas Ranperda yang lebih keras untuk melarang praktik gelandangan dan pengemis terutama yang berkeliaran di pinggir jalan dan tempat-tempat keramaian lainnya merupakan bukti keseriusan untuk meminimalkan populasi mereka.

Mungkin anda akan terkejut, rupanya Gepeng yang melakoni pekerjaannya memiliki penghasilan yang aduhai!, di antara mereka ada yang dapat menghasilkan uang Rp30.000 per hari, ini berarti dalam sebulan mereka memiliki penghasilan Rp900.000, angka ini berada di atas Upah Minimum Provinsi Sumut yang hanya Rp750.000 per bulan. Dengan fenomena ini wajar saja mereka sulit meninggalkan profesinya sehingga menjadikan Sumut sebagai pemilik populasi Gepeng terbesar ke tiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Kian maraknya cara operasi yang dilakukan Gepeng untuk menjaring mangsanya membuat Pemerintah Daerah Sumatera Utara mulai hilang kesabaran. Usaha yang dilakukan selama ini dengan aksi razia, pembinaan melalui panti, pemberian santunan, pelayanan kesehatan yang melibatkan beberapa instansi terkait ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan. Kini telah terlintas di alam pikiran tokoh-tokoh daerah ini untuk menyusun sebuah rancangan Peraturan Daerah (Perda) dengan menetapkan, setiap dermawan yang memberikan sedekah atau uang kepada Gepeng (pengemis) dikenakan denda Rp6 juta atau kurungan 6 minggu, bahkan ancaman yang lebih keras diarahkan kepada orang yang mengeksploitasinya dengan denda Rp50 juta. (Waspada 02 Agustus 2007). 

Sebenarnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang kurang beruntung cukup besar, seperti yang diamanatkan pada Pasal 34 UUD 1945 (Amandemen) bahwa, 'Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara'. Ini berarti kelangsungan hidup dan tanggung jawab pengasuhan anak terlantar berada di tangan negara yang di dalamnya adalah, pemerintah, masyarakat dan swasta. Namun demikian, dalam realitas yang memiliki tanggung jawab secara langsung untuk mengentaskan permasalahan gepeng, fakir miskin dan anak terlantar berada di tangan pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki dana yang terkoordinir, kekuatan dan kekuasaan untuk mengambil kebijaksanaan di bidang tersebut.

Fenomena kehidupan Gepeng dan anak jalanan memiliki hubungan dengan peningkatan angka kemiskinan. Di wilayah DKI Jakarta sebelum krisis moneter jumlah anak jalanan berkisar 3.000 orang, pasca krisis moneter tahun 1997-1999 meningkat menjadi 16.000 orang tanpa bisa tertahankan.  Fenomena yang sama juga terjadi di kota Medan, pada tahun 2004 jumlah penduduknya 2.006.142 jiwa dengan penduduk miskin 142.627 jiwa, pada tahun 2005 penduduknya 2.036.185 jiwa dengan penduduk miskin 144.990 jiwa, dan tahun 2006 penduduknya 2.067.290 jiwa dengan penduduk miskin sebesar 160.653 jiwa. Ini berarti antara tahun 2004-2005 angka kemiskinan bertambah 2.303 jiwa dan antara tahun 2005-2006 terdapat peningkatan yang drastis yaitu 15.723 jiwa.

Apabila tidak ada usaha maksimal untuk menanggulangi kemiskinan di daerah ini maka masalah Gepeng dan anak jalanan pada tahun-tahun yang akan datang akan semakin rumit diatasi. Menurut data yang dikeluarkan Dinas Sosial Kota Medan,  jumlah anak jalanan pada tahun 2002 di kota Medan sudah mencapai 5000 orang, jumlah ini hingga tahun 2006 diprediksi telah banyak mengalami peningkatan karena pengaruh faktor ekonomi yang semakin sulit, keadaan kehidupan keluarga yang semakin buruk, lapangan pekerjaan yang terbatas. Prediksi ini diperkuat dengan semakin bertambah dan menjamurnya Gepeng yang umumnya dapat dijumpai hampir pada setiap sudut kota yang tidak luput dari kehadiran sejumlah pengemis, pengamen, pemulung dan profesi yang sejenis lainnya.

Pengentasan Gepeng
Kalau kita mau jujur, usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan permasalahan Gepeng di Sumut belum menujukkan keseriusan. Usaha ke arah itu memang sudah sering dilakukan seperti, razia, penyantunan, pelatihan, pelayanan kesehatan, bimbingan dan berbagai upaya lainnya. Hasil yang diperoleh dari program tersebut dapat dikatakan tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Bahkan pada sisi lain acap kali menimbulkan permasalahan baru, karena pengelolaan dan penggunaan anggaran yang tidak tepat, munculnya kasus korupsi, alokasi dana yang salah sasaran dan banyak lagi persoalan yang muncul.

Razia Gepeng sudah beberapa kali dilakukan terutama di kota Medan dengan hasil yang sungguh mengecewakan, modus operasi yang sering kita saksikan begitu kegiatan razia selesai dilakukan masih pada hari yang sama, Gepeng yang tidak terjaring dalam operasi tersebut sudah berani memulai aktivitasnya. Yang lebih ironis praktik ini kadang kala dilihat oleh aparat yang melakukan razia sebelumnya tanpa ada usaha untuk mengejar atau menangkapnya kembali. Fenomena ini menimbulkan kesan bagi Gepeng bahwa, kegiatan razia  hanya sekadar untuk menakut-nakuti tanpa ada sanksi yang lebih tegas. Bagi Gepeng yang terjaring dalam razia beberapa hari kemudian biasanya akan dilepas tanpa ada hasil yang berarti dalam rangka pembinaan mereka kepada jalan yang lebih baik.

Demikian juga dengan pemberian santunan, sebagian dana untuk itu sudah dialokasikan pemerintah terutama melalui Dinas Sosial, bahkan ada NGO tertentu yang turut terlibat. Namun hasil yang diperoleh selama ini tidak maksimal karena dari tahun ke tahun jumlah Gepeng terus meningkat, sedangkan dana-dana yang dikucurkan tidak jelas ke mana arahnya. Bimbingan dan pembinaan yang dilakukan instansi tertentu dengan mengundang instruktur ke panti-panti untuk membekali Gepeng dengan berbagai keterampilan, hanya sebatas proses pelaksanaan tanpa melihat kelanjutan dari proses pelatihan tersebut, dengan kinerja yang demikian sangat wajar apabila permasalahan Gepeng tidak pernah dapat dituntaskan.

Memang sangat ironis, dalam beberapa kesempatan Pemprovsu acapkali menyatakan tidak mengetahui secara persis bagaimana sebenarnya praktik yang dilakonkan Gepeng terutama di kota Medan, padahal sudah menjadi pemandangan rutin bagi kita kalau Gepeng dalam melakukan aksinya ada yang secara sendiri-sendiri dan ada juga yang secara berkelompok. Gepeng yang melakukan praktik secara mandiri biasanya adalah yang benar-benar orang miskin, tidak punya rumah tempat berteduh, tidak dapat memenuhi kebutuhan pribadi selain mengemis, sedangkan Gepeng yang melakukan praktik secara bergerombol adalah Gepeng yang melakukan aktivitas di bawah koordinasi orang tertentu atau disebut bos pengemis, hasil dari mengemis yang diperoleh Gepeng biasanya di bawah pengawasan sang bos sehingga mereka yang melakoni pekerjaan sebagai Gepeng dapat dikatakan hanya sebagai mesin uang bagi tuannya.

Tidak jarang kita saksikan terutama dicpagi hari, sekelompok Gepeng turun dari kendaraan pick up yang dikomandoi orang tertentu seperti di Pajak Ikan Lama, Pajak Aksara, kawasan Jalan Juanda, Terminal Amplas, Petisah, kemudian pada sore hari mereka menanti jemputan pada lokasi yang sama. Kondisi ini berjalan secara rutin tanpa ada usaha maksimal dari Pemda Sumut atau instansi terkait untuk memutus rantai yang membelenggu kehidupan Gepeng tersebut.
Dari cara praktik yang dilakonkan Gepeng tersebut menunjukkan di antara mereka ada yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan lain kecuali sebagai pengemis dan tidak memiliki rumah hunian sehingga menjadi orang yang sewajarnya mendapat bantuan dan perhatian serius dari pemerintah sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 34 UUD 1945 di atas, sedangkan bagi mereka yang menjadikan Gepeng sebagai pekerjaan untuk memperkaya diri atau yang memanfaatkan Gepeng untuk memperkaya diri sudah sepantasnya diberikan sanksi yang tegas, terutama bagi orang yang mengeksploitasi secara terang-terangan pada beberapa lokasi pasar yang ada di kota Medan dan pada beberapa kota lainnya di daerah ini sudah sepantasnya diberikan sanksi yang tegas.

Wacana Penetapan Sanksi
Suatu penghargaan yang pantas dilontarkan kepada kinerja Pemprovsu yang tidak bosan-bosannya berusaha mengentaskan persoalan Gepeng, hal ini tentu berhubungan dengan aktivitas Gepeng yang telah banyak menimbulkan permasalahan sosial seperti, makin maraknya kriminalitas, bertambah luasnya kawasan kumuh, makin meluasnya budaya miskin, munculnya pola hidup malas terutama di kalangan kaula muda dan lain-lain. Wacana menjatuhkan sanksi bagi dermawan yang memberikan uang kepada Gepeng apakah sudah tepat?
Fenomena kehidupan Gepeng yang terdiri dari mereka yang melakoni pekerjaan secara mandiri dan Gepeng yang berada di bawah intimidasi orang-orang tertentu memiliki latar belakang yang berbeda.

Apabila uang yang diberikan dermawan jatuh kepada orang yang benar-benar miskin tentu ini perbuatan yang mulia dan manusiawi bahkan dianjurkan oleh agama Islam dalam rangka membantu saudara-saudaranya yang berada dalam kesulitan ekonomi atau orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Sedangkan apabila shadaqah itu jatuh kepada Gepeng yang berada di bawah suruhan orang tertentu dapat dikatakan menjadi suatu pemberian yang tidak tepat sasaran. Untuk membedakan Gepeng benaran dengan Gepeng palsu para dermawan sering keliru karena Gepeng palsu tidak jarang lebih menggambarkan kondisi tubuh dan pakaian yang lebih memprihatinkan dibandingkan dengan Gepeng asli. Dengan kondisi ini acap kali kaum dermawan tertipu, namun demikian apabila niat sudah ikhlas niscaya Allah akan memberikan pahala yang sepadan kepada dermawan tersebut.

Ranperda yang sedang disosialisasikan seiring dengan pengenaan sanksi Rp6 juta atau kurungan 6 minggu bagi dermawan yang memberikan uang kepada Gepeng, sesungguhnya bukan solusi yang tepat untuk mengentaskan Gepeng di daerah ini bahkan disinyalir akan dapat menimbulkan permasalahan baru. Banyak kalangan yang khawatir apabila Raperda tersebut disahkan akan menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Sumatera Utara tidak sanggup menampung dermawan yang memberikan uang kepada Gepeng, sedang pelaku kejahatan untuk kasus yang lain masih banyak yang lebih berhak untuk menempati LP. Demikian juga dengan pandangan agama Islam yang menganjurkan kepada sesamanya untuk saling membantu. Apabila Ranperda ini disahkan disinyalir dapat menimbulkan masalah baru di tengah-tengah masyarakat karena akan menghalangi mereka untuk beribadah dan membantu sesamanya.


Kalau mau mengkaji ke belakang seiring dengan program pengentasan Gepeng yang diterapkan selama ini pada dasarnya sudah baik, hanya saja keseriusan dan kemauan berbagai pihak yang belum maksimal. Justru itu apabila ingin mengentaskannya, langkah yang harus ditempuh adalah kejelasan perintah dari institusi yang berwenang, menegakkan aturan yang tegas, penerapan sanksi yang tegas bagi pihak yang menyelewengkan dana bantuan dan pemberian jaminan kesempatan kerja bagi Gepeng yang sudah mendapat pelatihan. Dengan cara ini niscaya permasalahan Gepeng akan dapat dituntaskan.

PENANGANAN GEPENG HARUS TERPADU DAN BERKESINAMBUNGAN

Jakarta, 15/7/2010 (Kominfo-Newsroom) Masalah gelandangan danpengemis (gepeng) merupakan masalah yang multi dimensi, sehinggapenanganannya perlu melalui kerjasama dengan berbagai pihakterkait, baik pemerintah, masyarakat, maupun tingkat pusat dandaerah secara komprehensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan.
Keterpaduan lintas sektor perlu dilakukan secara bersama-samayang dilandasi adanya kesepakatan, kesepahaman, dan keselarasanlangkah kegiatan agar terwujud dalam pelayanan dan rehabilitasisosial gepeng dengan hasil yang optimal.
Kurang optimal dan kurang sinkronnya kerjasama terpadu inimengakibatkan penanganan sering tidak terarah dan tidakberkesinambungan, kata Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi SosialTuna Sosial Kemsos, Drs. Tunggul Sianipar, saat ditemui di Jakarta,Kamis (15/7).
Demikian pula dengan kurangnya kesadaran masyarakat denganmemberikan sedekah di jalanan mengakibatkan para pengemis sangatsenang dengan profesinya. Mengingat penghasilan dengan mengemis dijalan sangat cukup tanpa mengeluarkan tenaga dan keringat, akanmenjadikan mereka tetap betah dan tetap berada di jalanan untukmengemis.
Ia mengungkapkan, dalam rangka menghadapi bulan Ramadhan, gepengmempunyai dua klasifikasi yaitu gepeng murni (ada setiap saat) dangepeng musiman (muncul saat-saat tertentu, seperti bulan Ramadhanatau Hari Raya/hari-hari besar).
Peran Kementerian Sosial untuk menangani gepeng pada bulanRamadhan saat ini adalah meningkatkan kerjasama/koordinasi denganDinas Sosial di daerah (Provinsi/Kab/Kota).
Pada saat melaksanakan penertiban/razia gepeng di daerah, DinasSosial bekerjasama dengan Satpol PP, dan Pemda setempat. Dari hasilpenertiban, khususnya di wilayah DKI Jakarta, mereka kemudianditampung di Panti Sosial Bina Karya Kedoya Jakarta Barat untukdiseleksi.
Setelah diseleksi, sesuai dengan permasalahannya, mereka dirujukke Panti Sosial Bina Karya, Panti Sosial Karya Wanita, Panti SosialBina Remaja dan Panti Sosial Anak, untuk selanjutnya akanmendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Sedangkan gepengmusiman akan dipulangkan ke tempat asal dengan bekerjasama denganpihak Kepolisian.
Usaha Kemsos dalam menangani gepeng diantaranya adalahmeningkatkan koordinasi intra dan inter sektoral, antara berbagaiinstansi pemerintah terkait di pusat dan daerah, Orsos dan DuniaUsaha.
Selain itu, juga meningkatkan dan memperkuat peran masyarakatdalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosialdengan melibatkan seluruh unsur dan komponen masyarakat, duniausaha, atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial.
Termasuk meningkatkan dan memperluas jangkaun dan pemetaanpelayanan dan rehabilitasi sosial, sehingga dapat menjangkausegenap kelompok sasaran diberbagai tingkatan wilayah, sertameningkatkan upaya pencegahan secara terpadu antar instansi danmasyarakat pada basis sumber asal tumbuhnya permasalahan sosial didaerah rawan.
Solusi yang dilakukan Kemsos baik pada bulan Ramadhan maupunkondisi sehari-hari dalam pelaksanaan penertiban, serta pelayanandan rehabilitasi sosial, berkoordinasi dengan instansi terkaitseperti Kemkes, Kemnakertrans, Kemperindag, Kemdagri, Mabes Polri,Kementerian Koperasi & UKM, Kantor Menko Kesra, Orsos/LSM danYayasan.
Selain itu, juga tetap melaksanakan upaya-upaya diantaranyapreventif; mencegah timbulnya/peningkatan populasi Gepeng, melluipenyuluhan, bimbingan sosial, pembinaan sosial, bantuan sosial,perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajatkesehatan. (T. Gs/toeb)
Jakarta, 15/7/2010 (Kominfo-Newsroom) Masalah gelandangan danpengemis (gepeng) merupakan masalah yang multi dimensi, sehinggapenanganannya perlu melalui kerjasama dengan berbagai pihakterkait, baik pemerintah, masyarakat, maupun tingkat pusat dandaerah secara komprehensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan.
Keterpaduan lintas sektor perlu dilakukan secara bersama-samayang dilandasi adanya kesepakatan, kesepahaman, dan keselarasanlangkah kegiatan agar terwujud dalam pelayanan dan rehabilitasisosial gepeng dengan hasil yang optimal.
Kurang optimal dan kurang sinkronnya kerjasama terpadu inimengakibatkan penanganan sering tidak terarah dan tidakberkesinambungan, kata Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi SosialTuna Sosial Kemsos, Drs. Tunggul Sianipar, saat ditemui di Jakarta,Kamis (15/7).
Demikian pula dengan kurangnya kesadaran masyarakat denganmemberikan sedekah di jalanan mengakibatkan para pengemis sangatsenang dengan profesinya. Mengingat penghasilan dengan mengemis dijalan sangat cukup tanpa mengeluarkan tenaga dan keringat, akanmenjadikan mereka tetap betah dan tetap berada di jalanan untukmengemis.
Ia mengungkapkan, dalam rangka menghadapi bulan Ramadhan, gepengmempunyai dua klasifikasi yaitu gepeng murni (ada setiap saat) dangepeng musiman (muncul saat-saat tertentu, seperti bulan Ramadhanatau Hari Raya/hari-hari besar).
Peran Kementerian Sosial untuk menangani gepeng pada bulanRamadhan saat ini adalah meningkatkan kerjasama/koordinasi denganDinas Sosial di daerah (Provinsi/Kab/Kota).
Pada saat melaksanakan penertiban/razia gepeng di daerah, DinasSosial bekerjasama dengan Satpol PP, dan Pemda setempat. Dari hasilpenertiban, khususnya di wilayah DKI Jakarta, mereka kemudianditampung di Panti Sosial Bina Karya Kedoya Jakarta Barat untukdiseleksi.
Setelah diseleksi, sesuai dengan permasalahannya, mereka dirujukke Panti Sosial Bina Karya, Panti Sosial Karya Wanita, Panti SosialBina Remaja dan Panti Sosial Anak, untuk selanjutnya akanmendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Sedangkan gepengmusiman akan dipulangkan ke tempat asal dengan bekerjasama denganpihak Kepolisian.
Usaha Kemsos dalam menangani gepeng diantaranya adalahmeningkatkan koordinasi intra dan inter sektoral, antara berbagaiinstansi pemerintah terkait di pusat dan daerah, Orsos dan DuniaUsaha.
Selain itu, juga meningkatkan dan memperkuat peran masyarakatdalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosialdengan melibatkan seluruh unsur dan komponen masyarakat, duniausaha, atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial.
Termasuk meningkatkan dan memperluas jangkaun dan pemetaanpelayanan dan rehabilitasi sosial, sehingga dapat menjangkausegenap kelompok sasaran diberbagai tingkatan wilayah, sertameningkatkan upaya pencegahan secara terpadu antar instansi danmasyarakat pada basis sumber asal tumbuhnya permasalahan sosial didaerah rawan.
Solusi yang dilakukan Kemsos baik pada bulan Ramadhan maupunkondisi sehari-hari dalam pelaksanaan penertiban, serta pelayanandan rehabilitasi sosial, berkoordinasi dengan instansi terkaitseperti Kemkes, Kemnakertrans, Kemperindag, Kemdagri, Mabes Polri,Kementerian Koperasi & UKM, Kantor Menko Kesra, Orsos/LSM danYayasan.
Selain itu, juga tetap melaksanakan upaya-upaya diantaranyapreventif; mencegah timbulnya/peningkatan populasi Gepeng, melluipenyuluhan, bimbingan sosial, pembinaan sosial, bantuan sosial,perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan derajatkesehatan. (T. Gs/toeb)

Pengertian Pengemis dan Gelandangan

Beberapa hari terakhir saya sering sekali menulis tentang Pengemis. Ada apa gerangan? Apakah aku berencana menjadi Ketua Organisasi Pengemis? Atau bahkan aku jatuh cinta kepada anak gadis seorang Pengemis?
Tidak kawan. Tebakan Anda salah. Saya hanya suka menulis tentang Pengemis lantaran rumah saya berdekatan dengan rumah Pengemis, meski anggota keluarganya hanya tiga orang. Lebih, tidak.
Lihatlah postingan terakhir sahabat Deden, seorang member senior di Blog Gurem ini  yang berjudul Fenomena Pengemis. Ternyata dia juga sedang keranjingan membahas masalah Pengemis. Akupun jadi ikut-ikutan membahas masalah Pengemis ini.
Apa itu Pengemis? Apa pula itu Gelandangan? Mari kita simak nyok!
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum;
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain;
Bagaimana mengatasi persoalan pengemis ini menurut versi Pemerintah? Nantikan lanjutannya di episode TUJUAN, WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB yang akan segera saya posting setelah selesai optimasi blog Mengembalikan Jati Diri Bangsa

232 Ribu Anak di Indonesia Jadi Gelandangan

DENPASAR - Kementerian Sosial mencatat saat ini terdapat 232 ribu anak di Indonesia yang hidupnya menggelandang di jalanan.  
“Anak-anak yang menggelandang ini harus diselesaikan. Tidak hanya urusan makan saja, namun masalah kesehatan, pendidikan harus mendapat perhatian serius semua pihak,” ujar Menteri Sosial Salim Segaff Al Jufri di sela-sela rakornas Program Keluarga Harapan wilayah Indonesia Timur di Hotel Aston Denpasar, Jalan Gatot Subroto, Jumat, (12/3/2010).
 
Dikatakan Mensos, anak-anak yang mengisi hidupnya di jalanan kota-kota besar rentan mengalami tekanan hidup atau stres. “Mereka hanya empat hingga lima jam di sekolah, sisanya dihabiskan di jalan,” imbuh mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi ini.
 
Banyaknya anak-anak yang hidup menggelandang seperti di Jakarta, diakui Mensos lebih banyak disebabkan kemiskinan. “80 persen hingga 90 persen sebab kemikiskinan, setelah dilakukan pendataan, sebagian besar mereka datang dari daerah miskin pinggiran seperti Bogor, Bekasi, Indramayu, dan lainnya,” jelas Salim.
 
Kemensos lewat program keluarga harapan (PKH) pada 2010, mencantumkan salah satu sasaran program adalah anak-anak putus sekolah atau mereka yang menggelandang di jalan.
 
Guna mendukung program PKH, Kemenson mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,3 triliun dari total anggaran Rp3,6 triliun untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
 
Menurut Salim, keberhasilan program menekan angka kemiskinan, tak lepas dari dukungan pemerintah daerah mulai Gubernur dan Bupati untuk merancang program-program untuk mengentaskan angka kemiskinan.
 
“Dana-dana dekonsentrasi bisa saja dipakai untuk program ini, derah pun bisa mengajukan program ke pusat melalui berbagai instansi dan kementerian yang ada,” tambahnya.


Saat ini, ada 16 instansi atau lembaga yang menangani masalah kemiskinan sehingga diperlukan langkah dan koordinasi sinergis antara pihak terkait untuk bersama-sama menekan angka kemiskinan di Indonesia.